0

sejarah benteng vanderberg



Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri Raja-raja Jawa waktu itu, yaitu Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti, suatu desa yang terletak di dekat Surakarta.
Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan HB I adalah memerintahkan membangun kraton. Dengan titah tersebut segera dibuka hutan beringin dimana ditempat tersebut sudah terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan HB I mengumumkan bahwa wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta. Pembagunan Kraton yang semakin pesat menimbulkan kekhawatiran di pihak Belanda sehingga diajukanlah usul untuk membangun sebuah benteng disekitar wilayah kraton. Dalih yang digunakan adalah agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi maksud sesungguhnya Belanda adalah untuk memudahkan melakukan kontrol perkembangan yang terjadi di kraton. Hal ini bisa dilihat dari letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya menghadap ke jalan utama menuju kraton merupakan indikasi utama bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa beridirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda termasuk Sri Sultan HB I, oleh karena itu usulan pembangunan benteng dikabulkan.

  Benteng Vredeburg pada masa pendudukan Jepang
Jatuhnya Singapura ke tahngan Jepang membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai darah-daerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu, dan Balikpapan.penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang Sumatra, yaitu Dumai, Pakan Baru, dan Palembang. Terakhir baru Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu, dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat  berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Akhirnya, pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia.
Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsuing sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah yang semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Mereka menggunakan atraksi pawai di jalanan untuk menarik simpati masyarakat Yogyakarta.
Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang berlakukan UU Nomor 1 Tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui, tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga dipusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempetei, yaitu tentara yang terkenal keras dan kejam.
Di samping itu Benteng Vredeburg juga dikenal sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo-Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Benteng.
Guna mencukupi kebutuhan senajta, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dulu disimpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan, bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin.  Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah di saat terjadi perang secara mendadak.
Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika Proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang, tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) bangunan Bneteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempetei, gudang mesiu, dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo-Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.

    Benteng Vredeburg pada masa kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang Perpustakaan Daerah Jl.Malioboro Yogyakarta). Kepala kantor berita Domei Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan, kepala bagian radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto, Soetjipto, Abdullah, dan Umar Sanusi.
Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diterima oleh Kantor Berita Domei cabang Yogyakarta menimbulkan berbagai aksi, diantaranya: pengibaran bendera merah putih, perampasan bangunan dan pelucutan senjata tentara Jepang. Setelah benteng Vredeburg dikuasai oleh pihak RI, selanjutnya diserahkan kepada instansi militer dan dipergunakan sebagai asrama serta markas pasukan dengan kode staf ‘Q’, dibawah komando Letnan Muda I Radio. Tugas pasukan ini mengurusi perbekalan militer.
Pada masa Agresi Militer II, 19 Desember 1948, benteng Vredeburg menjadi sasaran bom Belanda sehingga kantor TKR yang ada didalamnya hancur. Tentara Belanda dibawah komando Kolonel Van Langen berhasil menguasai Yogyakarta termasuk benteng Vredeburg, yang selanjutnya benteng digunakan sebagai markas IVG (Informatie Voor Geheimen atau Dinas Rahasia Belanda). Disamping itu benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit dan tempat penyimpanan senjata barat (tank, panser dan kendaraan militer lainnya).
Setelah Belanda meninggalkan Yogyakarta (peristiwa Yogya Kembali, 29 Juni 1949) benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang RI) yang pengelolaannya diserahkan kepada Sekolah Militer Akademi. Setelah peristiwa G 30 S/PKI (tahun 1965) untuk sementara benteng Vredeburg digunakan sebagai tempat tapol (tahanan politik) dibawah pengawasan Dephankam.
Tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng, selanjutnya proses ke arah pelestarian bangunan benteng terus dijalankan. Tanggal 9 Agustus 1980 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku pihak I dan Dr. Daud Jusuf (Mendikbud saat itu) sebagai pihak II tentang ‘Pemanfaatan bangunan bekas benteng Vredeburg sebagai pusat informasi dan pengembangan budaya nusantara’. Tahun 1981 bangunan bekas benteng Vredeburg ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0224/U/1981, tanggal 15 Juli 1981. Tanggal 5 November 1984, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Mendikbud pada saat itu) mengatakan bahwa bangunan bekas benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai Museum Perjuangan Nasional. Dalam perjanjian serta surat Sri Sultan HB IX No. 359/HB/85, tanggal 16 April 1985, disebutkan bahwa perubahan-perubahan tata ruang gedung-gedung dalam kompleks benteng diijinkan sesuai dengan kebutuhan. Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan untuk ditingkatkan fungsinya sebagai Museum. Tahun 1987 Museum dibuka dan dapat dikunjungi umum. 23 November 1992 bangunan bekas benteng Vredeburg resmi menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional berdasarkan SK Mendikbud RI (saat itu dijabat oleh Prof. Dr. Fuad Hasan) No. 0475/O/1992, dengan nama ‘Museum Benteng Yogyakarta’.

C.     Profil Museum
·         Bangunan
Benteng Vredeburg terdiri atas beberapa bangunan berupa gedung sebagai barak, hunian, mess, dan tempat tinggal dengan luas 2.3 hektar. Arsitektur bangunan di dominasi gaya Jawa-Eropa yang dikerjakan oleh seorang Belanda ahli ilmu bangunan bernama Ir. Frans Haak.
·      Koleksi
Museum benteng Yogyakarta memiliki koleksi berupa bangunan yang merupakan benteng pertahanan. Koleksi bangunan ini terdiri atas selokan atau parit, jembatan angkat, tembok keliling, pintu Gerbang, dan bangunan lainnya yang berupa bangsal-bangsal. Koleksi lainnya berupa peralatan rumah tangga, senjata, naskah, pakaian, peralatan dapur, dan koleksi foto, lukisan, serta koleksi peristiwa sejarah dalam bentuk diorama sebanyak 55 buah yang di tempakan dalam 4 ruangan.
·         Pelayanan
Hari dan jam kerja benteng/buka museum vredeburg:
Selasa- Kamis pukul 08.00-14.00, Jumat 08.00-11.00, Sabtu 08.00-12.00, Minggu 08.00-12.00, Senin tutup. Harga tiket untuk dewasa dan anak-anak Rp. 2000,00. Jika memerlukan pemandu, pihak museum menyediakan tenaga professional.

D.    Koleksi Museum
1.      Selokan atau parit
2.      Jembatan
3.      Tembok (Beteng)
4.      Pintu gerbang
5.      Bangunan-bangunan di bagian tengah

E.     Benteng Vredeburg menjadi Daerah Tujuan Wisata
Benteng Vredeburg menjadi salah satu daerah tujuan wisata karena dipengaruhi oleh beberapa hal penting, antara lain:
1.      Lokasi yang strategis
Benteng Vredeburg berada pada posisi strategis. Berada di tengah-tengah daerah tujuan wisata lainnya, seperti Malioboro, Taman Pintar, Alun-Alun Utara, dan Kraton Yogyakarta. Kawasan sekitarnya selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik dan wisatawan asing.
2.      Transportasi
Transpotasi menuju maupun meninggalkan benteng Vredeburg pun dapat dikatakan mudah. Karena dengan tempat yang strategis sebagai penunjang banyaknya wisatawan yang datang. Kendaraan yang dapat dipakai pun bermacam-macam. Seperti bus kota, taksi, andong (kereta kuda), dan becak. Untuk tarif masing-masing jenis kendaraan tentu berbeda. Untuk bus dan taksi disesuakan dengan jarak tempuh ddan tujuan. Kemudian untuk andong dan becak tentu sudah di tentukan harganya. Tetapi kita dapat melakukan tawar menawar apabila dirasa terlalu berat untuk kantong kita. Namun sensasi berkeliling kota jogja maupun menyusuri jalan malioboro akan terasa lebih eksotik dan menghibur.
3.      Kreatifitas
Kreatifitas di Benteng Vredeburg dapat dilihat dari adanya ruang pameran yang menampilkan bermacam-macam koleksi museum. Pameran di Benteng Vredeburg dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tata pameran di luar gedung dan tata pameran di dalam gedung. Tata pameran di luar gedung adalah gedung-gedung itu sendiri yang berdiri sedemikian rupa sehingga menjadi tata pameran bangunan kompleks benteng vredeburg sebagai bangunan peninggalan kolonial Belanda di Yogyakarta. 
Sedangkan, tata pameran di dalam gedung adalah tata pameran yang disajikan di dalam gedung. Saat ini  museum benteng Vredeburg Yogyakarta telah menyajikan koleksi museum dalam ruang pameran tetap dalam minirama I sampai dengan minirama IV, ditambah dengan ruang pameran khusus.
4.      Kuliner
Kuliner merupakan salah satu daya tarik para wisatawan domestik atau asing untuk mengunjungi tempat wisata. Salah satunya adalah Benteng Vredeburg Yogyakarta. Kuliner yang terdapat di benteng vredeburg adalah Indische koffe. Indische Koffie menawarkan berbagai pilihan area dengan suasana yang berbeda pula untuk menikmati hidangan yang lezat dan nikmat, Area indoor yang terdiri dari area square, round dan Bar. Area ini dikhususkan bagi pengunjung yang tidak merokok dan juga tempat ini bisa digunakan sebagai tempat mengelar acara semisal ulang tahun, syukuran atau makan malam. Area Bar merupakan tempat yang menarik dan sayang untuk dilewatkan begitu saja terutama anda para pecinta kopi dimana anda dapat menyaksikan aksi barista Indische Koffie dalam meracik minuman.
Sedangkan area outdoor merupakan area bagi para pengunjung yang merokok, area ini terdiri dari area teras, parasol, dan outdoor bar. Ditempat ini sembari menikmati sajian dari Indische Koffie anda dapat menyaksikan gemerlapnya titik nol yang didukung oleh pemandangan kebun yang asri. Menu yang ditawarkan mulai dari menu western hingga masakan Indonesia yang cukup variatif mulai dari snack, main course hingga dessert dengan harga mulai Rp. 5.000,- ++ hingga Rp. 148.000,- ++. Kenyamanan, keindahan serta kenikmatan indische Koffie dapat anda nikmati setipa hari selasa hingga minggu pukul 09.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB.

F.      Pengaruh adanya Museum Benteng Vredeburg bagi masyarakat, nilai dan norma, serta interaksi
Masyarakat merupakan organ atau aspek yang memiliki fungsi tersendiri. Setiap adanya sesuatu yang baru dalam sebuah lingkungan kemungkinan besar juga akan berdampak atau berpengaruh pada lingkungan tersebut dan sekitarnya.
Objek wisata Benteng Vredeburg memiliki pengaruh positif bagi masyarakat. Seperti banyaknya peadagang yang berjualan di sekitar Benteng Vredeburg. Hal ini erat kaitannya dengan keadaan ekonomi masyarakat sekitar yang mengalami peningkatan.
Museum Benteng Vredeburg banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan domestic maupun wisatawan asing. Hal tersebut memperkuat pola interaksi yang terjadi di dalamnya. Mulai dari interaksi yang bersifat dua arah, maupun interaksi yang bersifat searah. Hubungan timbal balik antara pengunjung dengan fasilitator Museum Benteng Vredeburg dapat dikatakan sebagai interaksi yang bersifat dua arah. Interaksi tersebut terjadi secara langsung atau dapat dikatakan sebagai interaksi verbal. Fasilitator Museum Benteng Vredeburg sebagai pihak yang memberikan informasi kepada pengunjung, dan pengunjung sebagai pihak yang menerima informasi. Museum Benteng Vredeburg memiliki empat ruang Diorama yang mana memberikan informasi kepada setiap pengunjung. Pada saat pemberian dan penerimaan informasi inilah terjadi interaksi yang bersifat searah. Berdasarkan narasumber yang telah kami wawancarai, fasilitator Museum Benteng Vredeburg dituntut untuk menguasai beberapa bahasa yang berbeda guna mempermudah proses interaksi dengan para pengunjung. Kita tahu bahwa tidak semua pengunjung berasal dari dalam negeri.
Banyak nilai yang ditanamkan di Museum Benteng Vredeburg. Diorama yang menggambarkan sejarah Indonesia, perjuangan para pahlawan, serta benda-benda peninggalan sejarah menanamkan rasa cinta tanah air. Para pengunjung seperti merasakan apa yang dirasakan oleh para pahlawan sehingga tumbuh rasa bela negara, rasa semangat untuk mempertahankan negara, serta nasionalisme.
Selain nilai yang ditanamkan di Museum Benteng Vredeburg, norma juga tidak kalah pentingnya untuk diterapkan. Norma diterapkan untuk menciptakan keteraturan baik dari pihak internal maupun pihak eksternal Museum Benteng Vredeburg. Norma yang diterapkan seperti penggunaan tiket. Para pengunjung yang tidak memiliki tiket dilarang masuk ke dalam museum terkecuali pengunjung yang hanya ingin mengembalikan buku perpustakaan. Pembagian jam kerja serta jadwal museum sendiri merupakan norma yang diterapkan.  Menurut narasumber, para pengunjung yang meminjam buku perpustakaan dan mengembalikan tidak tepat pada waktunya, maka akan dikenai denda sebesar Rp.500,- tiap buku/hari. Norma-norma tersebut menciptakan keteraturan sosial dan menciptakan kenyamanan baik bagi pengunjung maupun pihak internal museum.

0

korupsi

  1. Korupsi
Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc., esp. by bribery (Lihat “Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06.)
Sejatinya, ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.  Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan peran (Agus Suradika, 2009: 2). Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan sebagai representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik (Wahyudi Kumorotomo, 2005: V)
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status (lihat Agus Suradika, 2009: 2).
Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
  1. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial (Miriam Budiarjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik, 1995: 35)
Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan member perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Robert M. Maclver, 1961: 87). Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan oleh  kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih kecil dari pada yang dikuasai (op cit., h.36)
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan (ibid., h.37)
  1. White-collar crime
Pengertian dasar dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini, menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok orang-orang terhormat.
Atas dasar pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan erat denganpe pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).
White-collar yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan, Direktur General Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar menunjuk kaum peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya (Lihat Sutherland, 1949: 9, catatan kaki 7)
Pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik yang demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin utama bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya kejahatan oleh kerah puitih. White-collar crime dalam bentuk kejahatan korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal loging).
Terdapat dua kategori kejahatan dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard dan Quinney (1973), yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dalam menjabarkan cirri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan Quineey merujuk kepada rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang dilakukan:
-          Oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);
-          Oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);
-          Oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
-          Oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan)
-          Oleh pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen)
Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz,. Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
-          Kejahatan oleh orang-orang yag bekerja secara individual dan sementara (ad hoc), misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan kebangkrutan dan lain-lain;
-          Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) ileh orang yang mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank lien, misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
-          Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis, misalnya pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan, dan obat-obatan;
-          White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan layanan pengobatan dan kesehatan, undian palsu, dan sebagainya (lihat Muhammad Mustofa, 2010: 28)
Ketentuan tipologi yang pertama dan kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh individu, sedangkan ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh organisasi.
  1. Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi tidak dapat dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi harus sebagai tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat dipahami melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai organisasi yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan tingkah laku  yang melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi ini sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati pelanggaran hukum (Clinard, Yeager, 1980: 43)
Di dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang tersebut memiliki sikap tidak bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal ini menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang membolehkan setiap orang di dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum. Dari situasi seperti inilah kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi, dapat mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum sdah merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat dikendalikan (Ibid., h.44)
  1. Differential Association.
Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini, berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah cara yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan perilaku menyimpang.
Sutherland memberikan 9 prinsip dari teori Differential Association, yaitu:
1)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari
2)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi
3)      Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman, teman sepermainan atau sahabat paling dekat)
4)      Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan, rasionalisasi, kebiasaan dan sikap sehari-hari.
5)      Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang menguntungkan dan tidak menguntungkan.
6)      Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar hukum.
7)      Differential association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8)      Proses belajar menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran lainnya.
9)      Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan sikap, perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama, sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.

1

pluralisme

Menurut R. J. Mouw Dan S. Griffon pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas (dalam S. Ma’arif, 2005: 11).
Menurut Van Den Berghe dalam masyarakat majemuk mempunyai sifat dasar seperti: 1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok subkebudayaan yang berbeda satu sama lain; 2) memlikili struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer; 3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat; 4) secara relatif sering terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; 5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan; 6) adanya dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain (dalam Nasikun, 2009: 75-76).
Di sini pluralisme dapat dikatakan sebagai paham yang mengakui adanya perbedaan-perbedaaan antara suku bangsa, agama, budaya, dll. Selain itu pluralisme mengakui adanya kemajemukan dan dalam masyarakat pluralisme ada perbedaan-perbedaan perlakuan baik antara anggota masyarakat maupun antara kelompok masyarakat, ada dominasi yang kuat kepada yang lemah, dominasi mayoritas kepada minoritas sehingga sering terjadi konflik.
2. Multikulturalisme
Masyarakat multikulturalisme merupakan bentuk dari masyarakat modern yang anggotanya terdiri dari berbagai golongan, suku, etnis, ras, agama, dan budaya. Mereka hidup bersama dalam suatu wilayah lokal maupun nasional dan juga internasional melakukan interaksi secara langsung maupun tidak langsung (Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta, 2009: 113).
Dalam masyarakat multikultural, perbedaan kelompok sosial, kebudayaan, suku bangsa dijunjung tinggi. Namun tiddak berarti adanya kesenjangan dan perbedaan hak dan kewajiban di antara mereka. Masyarakat multikultural memperjuangkan kesederajatan antara kelompok minoritas dan mayoritas, baik secara hukum maupun secara sosial. Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk hidup penuh toleransi, saling pengertian antar budaya dan antar bangsa dalam membina suatu dunia baru (Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta, 2009: 114).
• Menurut pendapat saya kedua tipe masyarakat, pluralisme dan multikulturalisme masih ada dalam kehidupan masyarakat indonesia sekarang. Paham pluralisme dan multikulturalisme ini sudah dijadikan semboyan persatuan bangsa Indonesia sejak dulu yaitu dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang dapat berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Contoh nyata dari adanya masyarakat pluralisme di Indonesia saat ini di antaranya adalah adanya perbedaan-perbedaan agama, suku bangsa, budaya, bahasa dll; adanya dominasi antara kelompok berduit kepada kelompok miskin; banyaknya suporter-suporter bola di tanah air yang terlibat tawuran karena para suporter tersebut merasa kelompoknya yang paling kuat. Sedangkan contoh dari masyarakat multikulturalisme sendiri diantaranya adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan presatuan bangsa Indonesia; mulai adanya toleransi beragama dilihat dari adanya dialog antar agama; dalam lingkungan kampus juga terlihat multikulturalisme seperti tidak membeda-bedakan teman walaupun teman tersebut berasal dari suku bangsa, budaya, bahasa yang berbeda. Dari kedua contoh tersebut saya menyimpulkan bahwa pluralisme dan multikulturalisme masih ada di Indonesia walaupun multikulturalisme belum semuanya mengerti atau diterapkan dalam kenidupan masyarakat Indonesia.