0

instrumen penelitian



“Instrumen Penelitian”

A . pengertian Instrumen Penelitian
instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data-data secara sistematis serta objektif dengan tujuan memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis. Jadi semua alat yang bisa mendukung suatu penelitian bisa disebut instrumen penelitian.  Menurut jenis variabel yang akan diukur secara garis besar  instrument dapat dibedakan dua jenis  yaitu :
1.      Instrumen untuk mengukur variable  dengan  skala nominal dan ordinal (data kualitatif)
2.      Instrumen untuk mengukur skala interval dan rasio (data kuantitatif). 
Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel dengan skala interval dan rasio biasanya merupakan alat standard dan sudah ditera. Contoh alat-alat dalam golongan ini adalah timbangan, pengukur panjang, thermometer, tensimeter, alat-alat laboratorium dan lain sebagainya.
B.     Fungsi Instrumen
Di dalam penelitian, data mempunyai kedudukan yang paling tinggi, karena data merupakan penggambaran variable yang diteliti dan berfungsi sebagai alat pembuktian hipotesis. Oleh karena itu benar tidaknya data, sangat menentukan bermutu tidaknya hasil penelitian. Sedangkan benar tidaknya data, tergantung dari tidaknya instrumen pengumpul data. Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen.  Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah.  Sedangkan Realibilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument tersebut sudah baik.
Beberapa macam validitas yaitu face validity, content validity, dan criterion valid­ity. Face validity (validitas muka) tercapai jika suatu instrumen nampaknya sudah valid (dari penglihatan sepintas lalu). Tentu saja validitas semacam ini sangat superficial. Tetapi kadang-kadang peneliti cukup memerlukan validitas jenis ini. Caranya, peneliti meminta beberapa orang membaca atau mengisi instrumen tersebut, dan meminta pendapat mereka untuk keperluan revisi.
Content validity (validitas isi) tercapai jika suatu instrumen telah mencakup seluruh hal yang perlu diukur. Jika satu tes ujian akhir telah mencakup seluruh isi mata kuliah satu semester, maka instrumen ini dianggap memiliki validitas isi. Sebagai catatan, ini jangan dikacaukan dengan "konsistensi internal" dalam bahasan tentang reliabilitas. Soal tes ujian yang hanya mencakup 50% bahan kuliah satu semester mungkin memiliki sifat konsistensi internal, tetapi instrumen ini tidak memiliki validitas isi.
Criterion validity (validitas kriteria) mengacu pada kemampuan item-item instrumen untuk mengukur hal yang sama atau memprediksi suatu hal di masa depan. Dalam hal ini kita mengenal dua macam validitas, yaitu concurrent validity dan predictive va­lidity. Concurrent validity tercapai jika suatu instrumen buatan kita misalnya, berkorelasi secara signifikan dengan instrumen lain yang mengukur hal yang sama. Jika kita mempunyai alat tes bahasa Inggris lalu kita uji cobakan kepada sejumlah siswa, dan hasilnya ternyata berkorelasi dengan nilai TOEFL mereka, maka tes kits telah memiliki concurrent validity.
Sedangkan predictive validity tercapai jika suatu instrumen mampu meramalkan apa yang terjadi di masa depan sesuai dengan hasil tes. Berikut adalah peta reliabilitas dan validitas instrumen.




                                                     Instrumen

         Realibility                                                                  Validity

Stability    Ekivalence   Internal                               Face          Content    Criterion
                                      Consistency                       Validity      Validity    Validity

                                                                                                  
                                                                                                  Concurrent    Predictive
                                                                                                   Validity         Validity


C.    Langkah Penyusunan Instrumen
langkah-langkah penyusunan dan pengembangan instrumen adalah sebagai berikut : 
a)      Berdasarkan sintesis dari teori-teori yang dikaji tentang suatu konsep dari variabel yang hendak diukur, kemudian dirumuskan konstruk dari variabel tersebut. Konstruk pada dasarnya adalah bangun pengertian dari suatu konsep yang dirumuskan oleh peneliti.
b)      Berdasarkan konstruk tersebut dikembangkan dimensi dan indikator  variabel yang sesungguhnya telah tertuang secara eksplisit pada rumusan konstruk variabel pada langkah pertama.
c)      Membuat kisi-kisi instrumen dalam bentuk tabel spesifikasi  yang memuat  dimensi, indikator, nomor butir dan jumlah butir untuk setiap dimensi dan indikator.
d)     Menetapkan besaran atau parameter yang bergerak dalam suatu rentangan kontinum dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi, dari negatif ke  positif, dari otoriter ke demokratik, dari dependen ke independen, dan sebagainya.
e)      Menulis butir-butir instrumen yang dapat berbentuk pernyataan atau pertanyaan.Biasanya butir instrumen yang dibuat terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok butir positif dan kelompok butir negatif.    Butir positif adalah pernyataan  mengenai ciri atau keadaan, sikap atau persepsi yang positif atau mendekat ke kutub positif, sedang butir negatif adalah pernyataan mengenai ciri atau keadaan, persepsi atau sikap negatif atau mendekat ke kutub negatif.
f)       Butir-butir yang telah ditulis merupakan konsep instrumen yang harus melalui proses validasi, baik validasi teoretik maupun validasi empirik. 
g)      Tahap validasi pertama yang ditempuh adalah validasi teoretik, yaitu melalui  pemeriksaan pakar atau melalui panel yang pada dasarnya menelaah seberapa jauh dimensi merupakan jabaran yang tepat dari konstruk, seberapa jauh indikator merupakan jabaran yang tepat dari dimensi, dan seberapa jauh butir-butir instrumen yang dibuat secara tepat dapat mengukur indikator. 
h)      Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar atau berdasarkan hasil panel.
i)        Setelah konsep instrumen dianggap valid secara teoretik atau secara konseptual, dilakukanlah penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan ujicoba.
j)         Ujicoba instrumen di lapangan  merupakan bagian dari proses validasi empirik. Melalui ujicoba tersebut,  instrumen diberikan kepada sejumlah responden sebagai sampel uji-coba yang mempunyai karakteristik sama atau ekivalen dengan karakteristik populasi penelitian. Jawaban atau respon dari sampel ujicoba merupakan data empiris yang akan dianalisis untuk menguji validitas empiris atau validitas kriteria dari instrumen yang dikembangkan.
k)      Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan kriteria baik kriteria internal maupun kriteria eksternal. Kriteria internal, adalah instrumen itu sendiri sebagai suatu kesatuan yang dijadikan kriteria sedangkan kriteria eksternal, adalah instrumen atau hasil ukur tertentu di luar instrumen yang dijadikan sebagai kriteria.
l)        Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh kesimpulan mengenai valid atau tidaknya sebuah butir  atau sebuah perangkat instrumen. Jika kita menggunakan kriteria internal, yaitu skor total instrumen sebagai kriteria maka keputusan pengujian adalah mengenai valid atau tidaknya butir instrumen dan proses pengujiannya biasa disebut analisis butir.  Dalam kasus lainnya, yakni jika kita menggunakan  kriteria eksternal, yaitu instrumen atau ukuran lain di luar instrumen yang dibuat yang dijadikan kriteria maka keputusan pengujiannya adalah mengenai valid atau tidaknya perangkat instrumen sebagai suatu kesatuan.
m)        Untuk kriteria internal atau validitas internal, berdasarkan hasil analisis butir maka butir-butir yang tidak valid dikeluarkan atau diperbaiki untuk diujicoba ulang, sedang butir-butir yang valid dirakit kembali menjadi sebuah perangkat instrumen untuk melihat kembali validitas kontennya berdasarkan kisi-kisi.  Jika secara konten butir-butir yang valid tersebut dianggap valid atau memenuhi syarat, maka perangkat instrumen yang terakhir ini menjadi instrumen final yang akan digunakan untuk mengukur variabel penelitian kita.
D.    Jenis Istrumen
Apapun teknik pengumpulan informasi yang dipilih penelitian sosial yang melibatkan banyak orang, membutuhkan suatu instrumen penelitian, yang nantinya akan digunakan dalam proses pengumpulan informasi dari responden.
Beberapa jenis instrumen dalam suatu penelitian adalah sebagai berikut :
·         Tes
Tes adalah sederetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengukuran, inteligensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.
·         Kuesioner
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atu hal-hal yang ia ketahui.
·         Wawancara (Interviw)
Interview digunakan oleh peneliti unyuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk  mencari data tentang variabel latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, sikap terhadap sesuatu.
·                     Observasi
             Didalam artian penelitian observasi adalah mengadakan pengamatan secara langsung, abservasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, ragam gambar, dan rekaman suara. Pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati.
·         Skala bertingkat (ratings)
Rating atau skala bertingkat adalah suatu ukuran subyaktif yang dibuat bersekala. Walaupun skala bertingkat ini menghasilkan data yang kasar, tetapi cukup memberikan informasi tertentu tentang program atau orang. Intrumen ini depat dengan mudah menberikan gambaran penampilan, terutama panampilan didalam orang menjalankan tugas, yang menjukan frekuensi munculnya sifat-sifat. Didalm menyusun skala, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menentukan variabel skala. Apa yang ditanyakan harus apa yang dapat diamati responden. 
·         Dokumentasi
           Dokumentasi, dari asal kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Didalam melaksanakan metode dokumentasi, penelitian menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, dan sebagainya.
A

0

proses sosialisasi



PROSES SOSIALISASI
R. Diniarti F. Soe’oed

I.         Pendahuluan
Tanpa sosialisasi masyarakat tidak dapat berlanjut pada generasi berikutnya. Sosialisasi merupakan proses transmisi kebudayaan antargenerasi, karena tanpa sosialisasi masyarakat tidak dapat bertahan melebihi suatu generasi.
Syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi adalah interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial sosialisasi tidak mungkin belangsung. Menurut Vander Zande, sosialisasi adalah interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara-cara berpikir, berperasaan dan berperilaku, sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam masyarakat (J.W. Zanden, 1979: 75).
Dari konsep tersebut dapat disimpukan bahwa melalui proses sosialisasi individu diharapkan dapat berperan sesuai dengan nilai yang berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Oleh karena itu barulah kita mengetahui betapa pentingnya sosialisasi itu dalam keberlangsungannya suatu masyarakat.
Individu dapat menjadi makhluk sosial dipengaruhi oleh faktor keturunan (heredity) atau alam (nature) dan faktor lingkungan (environment) atau asuhan (murture). Faktor keturunan adalah faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (ascribe) dan merupakan transmisi unsur-unsur dari orang tuanya melalui proses genetika; jadi sudah ada sejak awal kehidupan. Faktor ligkungan adalah faktor luar yang mempengarui organisme, yang mebuat kehidupan bertahan.
Menurut tahapanya sosiaisasi dibedakan menjadi dua tahap, yakni sosialsasi primer, sebagai sosialisassi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi angota masyarkat. Dan sosialisasi sekunder yang didefinisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakat

II.      SOSIALISASI SEBAGAI SUATU PROSES
Individu yang tadinya hanya sebagai mahluk biologis melalui proses sosialisasi, belajar tentang nilai, norma, bahasa, simbol, ketrampilan, dan sebagainya untuk diterima dalam masyarakat di mana ia berada.  Untuk menjadi anggota masyarakat yang ‘normal’ atau diterima di dalam masyarakat, diperlukan keampuan untuk menilai secara objektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain. Kemampuan tersebut berarti seorang sudah memiliki apa yang dinamakan ‘self’ (diri). Ciri orang yang sudah memiliki ‘self’ adalah orang yang sudah mampu merefleksikan atau memberlakukan dirinya sebagai objek dan subjek sekaligus.
Dalam penjelasannya, Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep ‘looking glass self’, di mana senantiasa dalam benak individu terjadi suatu proses yang ditandai oleh 3 tahap terpisah yaitu persepsi, interprestasi, dan respons.
Sedangkan menurut Herbert Mead, orang yang msudah memiliki ‘self’ dijumpai pada penguasaan bahsanya, yakni pada anak-anak yang sudah berusia lma tahun. Kemampuan untuk menganggap diri sebagia objek dan subjek secara sekaligus ini diperoleh dalam dua tahap yaitu Play Stage dan Game Stage.
Mead mengemukakan gagasan bahwa SELF mempunyai dua komponen, yaitu: I (faktor-faktor yang khas yang memasuki komunikasi kita dengan orang lain). Me (segi yang memberikan tanggapan pada konvensi-konvensi sosial (Karp dan Yoels, 1979: 40-41)
Kemampuan anak untuk mengabstrakkan peran-peran dan sikap-sikap dari Significant Othersnya (semua orang lain yang berarti) serta menggeneralisasikannya untuk semua orang, termasuk dirinya, disebut generalized other. Ketika baru lahir, individu tidak dapat memilih Significant Others, dan Significant Others cenderung memaksakan kehendaknya pada diri anak.

III.   Sosialisasi Pengalaman Sepanjang Hidup
Sosialisasi merupakan suatu proses yang dialami oleh setiap individu sebagai makhluk sosial di sepanjang kehidupannya, dari ketika ia dilahirkan sampai akhir hayatnya bentuk-bentuk sosialisasi berbeda-berbeda dari setiap dari setiap tahap kehidupan individu dalam siklus kehidupannya. Dari setiap tahap sosialisasi, agaen sosialisasiya pun berbeda.
1.      Masa Kanak-Kanak
Setiap orang tua mempunyai kewajiban untuk emgajarkan pada anak-anaknya tentang kehidupan ini. Kewajiban tersebut adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya.
Proses sosialisasi dapat digambarkan melalui kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial. Fase-fase tersebut yaitu Adaptation, Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), Integration, dan Latent Pattern Maitenance tidak ada batasan yang jelas, karena merupakan suatu proses yang terjadi secara sinambung.
2.      Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transmisi dari kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja dalam gambaran yang umum merupakan suatu periode yang dimuai dengan perkembangan masa pubertas dan menyelesaikan pendidikan untuk tingkat menengah.
Dalam sosialisasi terdapat remaja ada suatu gejala yang disebut ‘reverse socialization’. Reverse socialization ini mengacu pada cara di ana orang yang lebih muda dapat menggunakan pengaruh mereka kepada yang lebih tua. Mengubah pandangan, cara berpakaian bahakan nilai-nilai mereka. Reverse socialization dapat dideskripsikan sebagai suatu hal di mana orang yang seharusnya disosialisasikan justru mensosialisasikan. Mead megatakan bahwa sosialisasi ini banyak terjadi pada masyarakat yang mengalami perubahan sosial dengan cepat.
3.      Masa Dewasa
Sosialisasi pada orang dewasa merupakan suatu proses di mana individu dewasa mempelajari norma, nilai dan peranan yang baru dalam lingkungan sosial yang baru pula. Proses belajar ini lebih intensif, belu tentu sama dengan nilai norma yang telah diperolehnya pada kesempatan sebelunya atau di lingkungan sosial yang lainnya mungki berbeda bahkan bertentangan dan proses ini disebut resosialisasi. Sosialisasi tersebut antara lain sosialisasi dalam dunia kerja, dalam perkawinan, dan sosialisasi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya,
4.      Masa Tua dan Menuju Kematian
Menurut Eitzen, orang lanjut usia juga seperti remaja yang juga mengalami transisi dalam kehidupan. Orang lanjut usia merupakan masa transisi dari orang dewa produktif menuju kematian.
IV.   Sosialisasi Peran Menurut Jenis Kelamin (Gender-Role Socialization)
Dalam setiap masyarakat dan kebudayaan pasti ada perbedaan peran-peran individu yang diharapkan oleh masyarakat dari pria dan wanita.
Sebuah penelitia yang pernah dilakukan oleh Ny. Lever terhadap 181 anak-anak kelas menengah di Inggris, yang melihat perbedaan secara sistematis antara pria dan wanita dalam kegiatan bermain, antara lain contohnya, laki-laki bermain di laur ruah dalam satu tim, seperti olah raga, perang-perangan. Perempuan bermain sendiri di rumah dengan boneka.
Orang tua membedakan perlakuannya terhadap anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan melalui tiga teori menurut Maccoby dan Jacklin dalam Scanzoni.
1.      Teori Imitasi (mengenai identifikasi awal seorang anak terhadap anggota keluarga yang jenis kelaminnya sama dengannya, dengan menirukan tingkah laku tertentu orang dewasa.
2.      Self Socialization anak akan berusaha mengembangkan konsep tentang dirinya dan juga mengembangkan suatu pengertian tentang apa yang harus dilakukan bagi jenis kelamin yang bersangkutan.
3.      Teori Renforcement (menekankan penggunaan sanksi berupa hukuman atau penghargaan.

V.      Pengaruh Perbedaan Kelas Sosial terhadap Sosialisasi Anak dalam Keluarga
Seperti yang dikategorikan oleh Bronfenbrenner dan Melvin Kohn bahwa ada dua bentuk sosialisasi antara lain sosialisasi yang berorientasi pada ketaatan yang disebut dengan sosialisasi denga cara represif (repressive socialization), dan yang berorientasi pada dilakukannya partisipasi  (participatory socializarion).
Sosialisasi dengan cara represif berpusat pada orang tua karea anak harus memperhatikan keinginan orang tua, sedang pada sosialisasi yang partisipatori berpusat pada anak, karena orang tua memperhatikan keperluan anak.
Konsep kelas sosial menurut Melvin Kohn dalam studinya adalah pengelompokan individu yang menempati posisi yang sama dalam skala prsetis. Berdasarkan konsep tersebut Kohn membagi kelas sosial dalam empat golongan:
1.         Lower-class adalah pekerja manual yang tidak memiliki ketrampilan seperti buruh bangunan, tukang sapu jalan.
2.         Working-class adalah pekerja manual yang memiliki ketrampila tertentu, seperti tukag jahit, supir, tukang kayu, tukang batu.
3.         Middle-class adalah pengawai kantoran atau profesional, seperti guru, pegawai administrasi.
4.         Elite-class sama dengan middle-class hanya kekayaan dan latar belakag keluarga lebih tinggi.
Namun Kohn dalam penelitiannya hanya memandingkan kondisi yang ada pada dua kelas sosial, yaitu working-class (kelas pekerja) dan middle-class (kelas menengah).
Selain pola sosialisasi pertisipasi dan represif yang diperkenalkan oleh Bronfenbrenner dan Melvin Kohn, ada juga pola sosialisasi yang digunakan oleh orang tua dalam menanamkan disiplin pada anak-anaknya yang dikembangkan oleh Elizabeth B. Hurlock (Hurlock, 172: 344:440) yang terdiri dari Otoriter, Demokratis, Permisif (bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak),.
Ada pula kecenderungan orang tua utnuk lebih menyukai atau lebih sering menggunakan pola tertentu, yang dalam penggunaanya dipengaruhi oleh sejumlah faktor:
1.         Menyamakan diri dengan pola sosialisasi yang digunakan oleh orang tua mereka.
2.         Menyamakan pola sosialisasi yang dianggap paling baik oleh masyarakt di sekitarnya.
3.         Usia dari orang tua.
4.         Kursus-kursus.
5.         Jenis kelamin orang tua.
6.         Status sosial ekonomi.
7.         Konsep peranan orang tua.
8.         Jenis kelamin anak.
9.         Usia anak.
10.     Kondisi anak.
Penting pula diketahui bahwa ketika penanaman nilai-nilai dalam proses sosialisasi perlu diperhatikan 4 aspek yang terkait agar tujuan pendidikan tercapai yakni peraturan, sanksi berupa hukuman dan penghargaan, juga konsistensi (Hurlock, 1972: 395-401).
Jadi yang paling dianggap penting dair keempat faktor di atas adalah konsistensi, karena segala sesuatu yang konsisten seperti mengenai waktu, menerapkan hukuman, memberikan hadiah/penghargaan akan menjadikan segalanya sebagai peraturan, karean segala sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang engan konsisten akan menjadi pedoman/aturan.