0

teori Ibnu kaldun

Ibnu Khaldun, nama ini begitu mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41). Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum siap untuk dimakan, dan untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42). Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup, menurut Ibn Khaldun manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya Allah memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’ (الوازع). Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Tetapi yang membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muwaddimahnya bukan sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya.
Sosiologi Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Selain apa yang telah dipaparkan di atas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة). Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة)(komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة)(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120). Penduduk kota menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan (Muqaddimah: 123). Daerah yang subur berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain (Muqaddimah: 125). Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah: 120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan (Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya (Muqaddimah: 132). Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138). Pendapat Ibn khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah: 139-140). Aka tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn Khaldun apabila suatu bangsa itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan (Muqaddimah: 151). Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama (Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan.
Khilafah, Imamah, Sulthanah
Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah: 191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan di atas.
Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. 2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Salat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191). Dari pembagian pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.
Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu: 1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. 2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.

0

keteraturan sosial

Keteraturan Sosial
1.
Keteraturan sosial pada hakikatnya merupakan hubunganyang selaras dan serasi antara interaksi sosial, nilai, dannorma social. Artinya, hak dan kewajiban dalam statu interaksisosial diwujudkan dan diselaraskan dengan nilai dan normaserta tata aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Hubungan antara Keteraturan Sosial dan InteraksiSosial
1.
Hubungan antara keteraturan sosial dan interaksi sosialadalah, keteraturan sosial tidak akan tercipta tanpa adanyainteraksi sosial yang selaras dan serasi adengan nilai-nilai dannorma-norma sosial yang ada.
2.
Dalam statu masyarakat yang mengalami ketidakteraturansosial (konflik) maka interaksi sosial akan sulit dilakukanataupun akan muncul interaksi sosial yang bersifat negatif.
Tahap-tahap terjadinya Keteraturan Sosial MenurutProses Terbentuknya:
1.Tertib Sosial (Social order)
oSuatu masyarakat dinyatakan telah mencapai kondisitertib sosial apabila dalam masyarakat telah terjadi keselarasanantara tindakan masyarakat dengan nilai dan norma yangberlaku.oCiri-ciri tertib sosial :^ Ada sistem nilai dan norma yang jelas


^ Seluruh masyarakat mengetahui dan memahami denganbenar norma dan nilai sosial yang berlaku.^ Seluruh masyarakat menyesuaikan tindakan-tindakannyadengan norma dan nilai sosial yang berlaku
2.Order
o
Suatu keadaan di amna suatu sistem atau tatanan normadan niali sosial diakui dan dipatuhi oleh warga masyarakat
3.Keajegan
o
Suatu keadaan yang memperlihatkan kondisi keteraturansosial yang tetap dan berlangsung terus menerus
4.Pola
o
Bentuk umum dari interaksi sosial yang menunjukkanadanya keteraturan yang lebih baku apabila dibandingkandengan tertib sosial maupun keajegan.
o
Dapat dicapai bila keajegan dapat terpelihara dalamberbagai situasi dan kondisi.
Dinamika Sosial
1.
Dinamika sosial adalah keseluruhan perubahan dariseluruh komponen masyarakat dari waktu ke waktu, perubahan-perubahan tersebut ada yang bersifat progresif dan ada jugayang regresif.
2.
Dalam dinamika sosial, seluruh eleven masyarakat besertaperangkat-perangkatnya mengalami interaksi dan korelasipengaruh-mempengaruhi sehingga mewujudkan suatu gerakdari keseluruhan componen yang ada dalam masyarakat.




KETERATURAN SOSIAL
PENGERTIAN
Keteraturan sosial adalah suatu kondisi yang menunjukkan hubungan sosial berjalan secara tertib dan teratur menurut nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Keteraturan sosial akan terwujud apabila interaksi dalam masyarakat berjalan sesuai nilai dan norma yang berlaku.

TAHAP-TAHAP KETERATURAN SOSIAL
Keteraturan sosial berjalan menurut tahap-tahap sebagai berikut :
1. Order, yaitu tatanan nilai dan norma yang diakui serta ditaati oleh masyarakat.
2. Keajegan, yaitu suatu kondisi keteraturan yang berlangsung tetap dan terus-menerus.
3. Pola, yaitu gambaran atau bentuk umum dari suatu interaksi dalam masyarakat yang menjadi contoh bagi masyarakat.
4. Tertib sosial, yaitu keselarasan tindakan masyarakat dengan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.

SYARAT TERCIPTANYA KETERATURAN SOSIAL
Terdapat tiga persyaratan yang mendasari terciptanya keteraturan sosial dalam masyarakat, yaitu :
1. Adanya kesadaran warga masyarakat tentang pentingnya menciptakan keteraturan.
2. Adanya norma sosial yang sesuai dengan kebutuhan serta peradaban manusia.
3. Adanya aparat penegak hukum yang konsisten dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya.



Dalam Sosiologi, interseksi adalah persilangan atau pertemuan keanggotaan suatu kelompok sosial dari berbagai seksi[1] baik berupa suku, agama, jenis kelamin, kelas sosial, dan lain-lain dalam suatu masyarakat majemuk.
Suatu interseksi terbentuk melalui interaksi sosial atau pergaulan yang intensif dari anggota-anggotanya melalui sarana pergaulan dalam kebudayaan manusia, antara lain bahasa, kesenian, sarana transportasi, pasar, sekolah. Dalam memanfaatkan sarana-sarana interseksi sosial itu, anggota masyarakat dari latar belakang ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkat ekonomi, pendidikan, atau keturunan berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu atau menjadi penganut agama tertentu.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Dampak interseksi
o 1.1 Meningkatkan solidaritas
o 1.2 Menimbulkan potensi konflik
• 2 Saluran interseksi di Indonesia
o 2.1 Hubungan ekonomi
o 2.2 Hubungan sosial
• 3 Catatan
• 4 Lihat pula

[sunting] Dampak interseksi
Interseksi dapat mempererat solidaritas di antara anggotanya sehingga dapat mengurangi munculnya konflik. Seperti pada kelompok pecandu Wikipedia ini sudah menyingkirkan perbedaan suku, ras, agama, bahkan usia yang diikat dalam satu kesamaan kepentingan.]]
Sebagai suatu proses sosial, interseksi mempunyai akibat terhadap kemajemukan masyarakat, diantaranya sebagai berikut.
[sunting] Meningkatkan solidaritas
Akibat dari pembentukan kelompok sosial dari seksi yang berbeda-beda adalah semakin kuatnya hubungan atau ikatan antaranggota sambil untuk sementara mengabaikan perbedaan-perbedaan horizontal maupun vertikal di antara mereka. Dengan demikian, diferensiasi di dalam masyarakat menjadi hal yang diangap wajar karena mereka dapat saling bergaul intensif dan saling memaklumi hal-hal tertentu. Selain itu, interseksi dapat menghasilkan kelompok sosial baru dengan kriteria yang baru pula, misalnya para pengguna Wikipedia akan mengabaikan perbedaan yang menyangkut suku, ras, dan agama yang mereka anut ketika berkumpul dengan kelompoknya.
[sunting] Menimbulkan potensi konflik
Jika perbedaan-perbedaan yang mereka miliki lebih menonjol dan semakin tajam.Misalnya jika perbedaan latar belakang suku, agama, dan status orang tua lebih menonjol dalam suatu organisasi pelajar, maka konflik yang berakhir pada perpecahan pasti akan terjadi dalam organisasi tersebut. Konflik dapat pula terjadi dalam masyarakat luas yang menempati suatu komplek perumahan, sebab mereka berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda
[sunting] Saluran interseksi di Indonesia
Persilangan keanggotaan suatu kelompok sosial dari berbagai seksi tidak terjadi begitu saja namun dibantu dengan adanya interaksi di antara berbagai seksi. Interaksi antara satu seksi dengan seksi lainnya dapat dilakukan melalui hubungan ekonomi, sosial, dan politik.
[sunting] Hubungan ekonomi
• Melalui perdagangan
Kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami pulau-pulau di Nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan berbagai bangsa di dunia sejak zaman dahulu kala. Dengan hubungan dagang yang telah berlangsung selama ratusan tahun itu, interseksi di Indonesia juga telah berlangsung selama ratusan tahun pula. Interseksi tersebut berjalan sedemikian rupa dan meliputi unsur-unsur bidang agama, kebudayaan, dan kesenian.
• Melalui perindustrian
Interseksi melalui perindustrian menjadi semakin intensif di era yang mengutamakan produk-produk industri berteknologi tinggi. Interseksi akan terjadi melalui kerja sama perindustrian yang dibangun baik di tingkat regional maupun internasional.
[sunting] Hubungan sosial
• Melalui perkawinan
Di antara para pendatang yang melakukan kegiatan perdagangan, perindustrian, penjelajahan, dan penyebaran agama, banyak yang melakukan pernikahan dan membentuk kehidupan keluarga dengan penduduk asli Indonesia. Perkawinan ini menyebabkan terjadinya persilangan antara bangsa dan ras yang berbeda tersebut. Dilihat dari prosesnya, perkawinan antarras atau etnik (suku bangsa) ini merupakan suatu bentuk asimilasi secara fisik, sebab proses penyatuan tersebut meliputi fisik orang-orang yang terlibat di dalamnya. Perkawinan antaretnik sangat efektif dalam mewujudkan integrasi (penyatuan) karena perbedaan-perbedaan yang berpotensi menjadi pemicu konflik dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali.
• Melalui pendidikan
Hubungan dalam bidang perdagangan, industri, dan perkawinan antaretnik akan memberikan peluang untuk terjadinya interseksi dalam bidang pendidikan sebab keturunan-keturunan mereka akan bersekolah di wilayah-wilayah yang mayoritas siswanya berbeda ras dan kebudayaan. Dalam bentuk yang lebih tinggi juga telah dilakukan pertukaran pelajar, lomba-lomba bidang sains dan teknologi tingkat pelajar, dan lain-lain.
• Politik
Hubungan diplomatik atau hubungan antarnegara juga akan menyebabkan terjadinya proses interseksi di antara para pejabat dan utusan negara masing-masing. Hal ini mudah dipahami karena mereka akan menetap, bekerja, dan berhubungan sosial dengan orang-orang yang berasal dari ras dak kebudayaan yang berbeda-beda. Hubungan antarnegara ini, selain bermaksud untuk meningkatkan hubungan dalam bidang ekonomi, juga untuk mempererat persaudaraan antarnegara. Interseksi yang akan terjadi meliputi semua bidang, antara lain politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan agama.

. BENTUK MASYARAKAT MULTIKULTURAL

1. INTERSEKSI

A) Konsep
Interseksi merupakan suatu titik potong atau pertemuan. Dalam sosiologi, interseksi dikenal sebagai suatu golongan etnik yang majemuk.
B) Definisi
Dalam Sosiologi, interseksi adalah persilangan atau pertemuan keanggotaan suatu kelompok sosial dari berbagai seksi. Baik berupa suku, agama, jenis kelamin, kelas sosial, dan lain-lain dalam suatu masyarakat majemuk.
Suatu interseksi terbentuk melalui interaksi sosial atau pergaulan yang intensif dari anggota-anggotanya melalui sarana pergaulan dalam kebudayaan manusia, antara lain bahasa, kesenian, sarana transportasi, pasar, sekolah. Dalam memanfaatkan sarana-sarana interseksi sosial itu, anggota masyarakat dari latar belakang ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkat ekonomi, pendidikan, atau keturunan berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu atau menjadi penganut agama tertentu.
C) Penjelasan definisi
Jadi, yang dimaksud dengan interseksi adalah suatu masyarakat yang terdiri dari banyak suku,budaya,agama, dll yang berbaur menjadi satu kesatuan di dalam komunitas tertentu.

2. KONSOLIDASI

A) Konsep
Suatu proses penguatan pemikiran atas kepercayaan yang telah diyakini agar kepercayaan akan sesuatu yang diyakini semakin kuat. Yang mana hal ini dilakukan oleh orang yang lebih mengerti akan kepercayaan yang dianut.
B) Definisi
Konsolidasi adalah suatu proses penguatan yang dilakukan untuk memberikan tambahan keimanan atas apa yang telah seseorang yakini, yang biasanya dilakukan oleh orang yang sudah mencapai tingkatan tertenatu.
C) Penjelasan definisi
Jadi, yang dimaksud dengan konsolidasi adalah suatu penguatan atas apa yang telah melekat pada dirinya.

3. PRIMORDIALISME

A) Konsep
Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

B) Definisi
Primordialisme berasal dari kata bahasa latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.

C) Penjelasan definisi
Jadi, suatu primordialisme adalah suatu kepercayaan yang sudah mendarah daging. Maka setiap orang yang memiliki primordial pasti dia akan sulit menerima paham lain selain paham yang telah mendarah daging dalam dirinya.

4. ETNOSENTRISME

A) Konsep
Etnosentris sangat erat hubungannya dengan apa yang disebut in group feeling (keikut sertaan dalam kelompok) tinggi. Biasanya dalam suatu kelompok sosial sering kita melihat perang antar desa, perang antar suku ataupun perang dalam agama dan sebagainya. Tapi entosentris lebih kepada anggapan suatu kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul.
B) Definisi
Jadi, yang dimaksud dengan etnosentris adalah suatu anggapan dari kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul.

C) Penjelasan definisi
Dari definisi di atas kita dapat memahami bahwa dalam suatu masyarakat majemuk terdapat suatu kelompok yang beranggapan bahwa kelompoknyalah yang paling unggul dari kelompok-kelompok sosial lain.

5. POLITIK ALIRAN

A) Konsep
Politik aliran adalah suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam ormas-ormas yang memiliki suatu pemersatu berupa partai politik dalam suatu negara, sehingga ormas tersebut dikatakan penganut partai yang memang dijadikan pemersatu dalam negara.
B) Definisi
Politik Aliran adalah suatu organisasi masyarakat yang memiliki dekengan (jawa) untuk memelihara dan menyejahterakan anggotanya. Contoh : Hahdhotul Ulama’ memiliki dekengan berupa Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Muhammadiyyah memiliki dekengan berupa Partai Amanat Nasional(PAN), dll.

C) Penjelasan definisi
Jadi, jelas bahwa politik aliran adalah suatu partai politik yang memiliki suatu dukungan dari suatu organisasi masyarakat sebagai pembangun kekuatan dalam pemilihan umum.
Dampak Interseksi Sosial :
mempererat solidaritas, sehingga mengurangi munculnya konflik. penurunan nilai dan norma.

Saluran Interseksi Sosial :
EKONOMI : perdagangan,perindustrian.
SOSBUD : perkawinan, pendidikan, dll
POLITIK : Partai politik

Bentuk Interseksi Sosial :
HOMOGEN : suatu sektor kehidupan tetapi kriterianya berbeda. Co : antar agama,suku, profesi
HETEROGEN : sektor berbeda. Co : ras dan agama, suku bangsa dan agama, pendidikan dan profesi, suku bangsa dan organisasi politik

Alasan Interseksi Sosial :
MATERIAL : kekayaan, potensi, keturunan
NON MATERIAL : kasih sayang dan cinta